Jumat, 26 April 2013

Budaya Indonesia Tetap Istimewa


Budaya Indonesia Tetap Istimewa

Sabtu, 13 April 2013, 01:30 WIB


ANTARA/Pey Hardi Subiantoro
Menari merupakan salah satu budaya dan tradisi yang mengakar di masyarakat Bali (ilustrasi).
Menari merupakan salah satu budaya dan tradisi yang mengakar di masyarakat Bali (ilustrasi).
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya ekspansi budaya asing di Indonesia tak selalu berdampak buruk. Di era globalisasi, setiap negara bebas melakukan ekspansi budaya ke negara lain. Dulu, budaya Barat dengan leluasa melakukan penetrasi budaya ke berbagai negara lain.

Kini, Barat tak sendiri. Korea dan Jepang ikut pula mendominasi ekspansi budaya. Tak hanya berhenti di Asia, budaya Korea dan Jepang hadir pula di Eropa dan Amerika.

Saat ini, budaya Korea dan Jepang masuk ke Indonesia dengan beragam cara. Mulai dari fashion, musik, film, hingga menu makanan. 

Dengan fenomena yang ada Dirjen Pariwisata Dalam Negeri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Muhammad Faried melihat tren yang ada bukan sebagai ancaman. Menurut dia, maraknya ekspansi budaya asing ke Tanah Air, tak selamanya buruk. 

Ekspansi budaya justru bisa menjadi kesempatan membuat negeri ini lebih dikenal masyarakat dunia luar. “Sekitar 7,2 milyar penduduk dunia belum tentu kenal Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, masuknya budaya negara lain dapat menjadi warna baru bagi industri kreatif Tanah Air. Sehingga, ekspansi budaya yang ada sebenarnya memiliki nilai positif untuk perkembangan Indonesia.

Apalagi, kata dia, kehadiran budaya asing tak langsung berarti mengancam budaya Indonesia asli. Kecintaan masyarakat pada budaya tradisional khas Indonesia pun tak seketika luntur oleh budaya negara lain.

Menurutnya, setiap negara pasti memiliki kelebihan masing-masing sebagai senjata untuk membuat negara lain kenal dengan negara mereka. Indonesia, misalnya. 

Selama ini, menurut Faried, Indonesia menjadikan bidang pariwisata sebagai unggulan utama milik bangsa. Banyaknya budaya, alam, pulau, dan bahasa yang unik, membuat Indonesia memiliki daya tariknya sendiri. “Basis kita memang di bidang pariwisata. Jadi, kita saat ini masih mempromosikan tempat-tempat wisata,” kata dia.

Meski masuknya budaya asing tak pernah dilihat sebagai ancaman, pemerintah tetap menyaring setiap budaya asing yang masuk ke Tanah Air. Selama ini Kemenparekraf memiliki kriteria dan persyaratan tersendiri dalam menghadapi gempuran budaya asing.

Pemerintah Indonesia, kata dia, juga tak pernah berhenti melakukan langkah promosi memperkenalkan budaya Indonesia ke luar negeri. Salah satunya, dengan rajin berpartisipasi dalam berbagai event dunia.

Serangan balik

Sudah puluhan tahun masyarakat Indonesia akrab dengan kehadiran Doraemon sebagai pengisi hari libur. Begitu pula dengan film Jepang dan musik asal Negeri Sakura yang dikenal juga dengan J-pop.

Kerap dibuat terpukau oleh beragam budaya negara lain, tak membuat Indonesia berdiam diri. Lewat film, Indonesia melakukan serangan balik dan ikut tampil dalam gelaran festival film terbesar di Jepang, Tokyo Internasional Film Festival (TIFF). 
TIFF tak hanya bergelar pentas akbar insan film di Jepang, tapi juga seluruh Asia. Bahkan, TIFF merupakan satu-satunya Festival Film Jepang yang mendapatkan akreditasi dari International Federation of Film Producers Associations (FIAPF). 

Festival ini juga termasuk salah satu dari empat festival film utama di dunia, selain festival Cannes (Prancis), Venesia (Italia), dan Berlin (Jerman).

Tahun lalu, tepatnya Oktober 2012, TIFF memberikan kesempatan besar bagi film Indonesia untuk ikut unjuk gigi di gelaran ini. Satu katagori khusus, yaitu “ndonesia Express”, disiapkan bagi film-film Indonesia yang tampil. 

Di mata insan perfilman Jepang, film Indonesia dianggap memiliki masa depan cemerlang dan memiliki tema bervariatif. “Film Indonesia banyak mengangkat tema sosial dan itu bagus,” ujar Direktur program seksi Winds of Asia-Middle East TIFF Ishizaka Kenzi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pada gelaran ke-25 TIFF Oktober lalu, terdapat tujuh film Indonesia yang unjuk gigi. Ketujuh film tersebut, yakni Atambua 39 Derajat Celcius, Sang Pemimpi dan Laskar Pelangi garapan Riri Riza, Babi Buta yang Ingin Terbang dan Kebun Binatang garapan Edwin, serta Mata Tertutup dan Seogija garapan Garin Nugroho.

Ketujuh film ini ditayangkan mulai 20-28 Oktober 2012 di Roppongi Hills, Kota Minato, Metropolitan Tokyo. Untuk menyaksikan film-film besutan sineas Indonesia, pengunjung harus membeli tiket. 

Tiket Atambua 39 Derajat  Celcius dijual seharga 1.000 yen atau sekitar Rp 115 ribu. Sedangkan, untuk keenam film lainnya, tiket dijual seharga 1.300 yen atau Rp 150 ribu.

Ternyata, film Indonesia bukan pertama kali berpartisipasi dalam TIFF. Sebelumnya, film the Mirror Never Lies besutan sutradara muda Kamila Andini juga ditayangkan dalam TIFF 2011. Film yang bercerita tentang kehidupan suku Bajo ini bahkan berhasil meraih penghargaan Toyota Earth Grand Prix.

Tak heran, para sineas Jepang tertarik dengan para pembuat film Indonesia. Mereka bahkan meyakini sineas film lokal sangat berbakat dan tak kalah dengan sineas negara lain. 

Direktur Japan Foundation Tagashi Ogawa mengakui, Indonesia memiliki banyak sineas berbakat. “Saya ingin memperkenalkan film Indonesia lebih luas lagi,” katanya.

Tahun lalu, tiga sutradara Indonesia pun hadir menghadiri gelaran TIFF sekaligus mempromosikan filmnya. Mereka adalah Garin Nugroho, Riri Riza, dan Edwin.

Menurut Riri Riza, kesempatan tampil di festival film internasional, seperti TIFF, mampu meningkatkan semangat sineas Indonesia berkarya. “Kita juga tergerak untuk bekerja lebih keras lagi karena ada banyak film lain yang menarik di dunia,” ujarnya. 

Kurang Dukungan

Perkembangan budaya hiburan Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dari negara Asia lainnya. Mulai dari film, musik, dan karya lainnya. Meski kualitas budaya lokal tak kalah dengan budaya asing, tak sedikit masyarakat lebih memilih menikmati budaya asing.

Drummer wanita sekaligus aktris Titi Rajo Bintang mengungkapkan, selama ini para pelaku industri film di Indonesia masih kurang merasakan adanya dukungan pemerintah. Masalah perizinan dan promosi, menjadi dua bentuk dukungan yang masih sulit didapatkan. 

Menurutnya, Pemerintah Indonesia saat ini belum mendukung sepenuhnya perkembangan industri hiburan Indonesia. Ujung-ujungnya, banyak budaya lain yang masuk dan berkembang di Tanah Air. “Selama ini pemerintah kurang gencar mempromosikan beragam budaya Indonesia,” ujarnya. 

Kreativitas para sineas Indonesia juga kerap terkendala permasalahan. Cerita film terbaru Titi, Mursala, sempat mendapat keberatan dari Majelis Budaya Pesisir dan Pariwisata Sibolga (MBPPS) Tapanuli Tengah. Alhasil, Mursala yang awalnya direncanakan rilis pada 2012 baru bisa rilis pada 18 April 2013. n aghia khumaesi ed: setyanavidita livikacansera
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar